AMBON (ANTARA) – Seorang profesor dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura (UNPATTI) sedang mempelajari dampak proliferasi fitoplankton, atau mekar alga berbahaya (Habs), pada keberlanjutan perikanan di Maluku.
“Habs memiliki dampak luas pada ekologi kelautan, ekonomi, dan kesehatan komunitas pesisir,” Profesor Produktivitas Akuatik, Frederika S. Pello, diinformasikan di Ambon pada hari Selasa.
Habs terjadi ketika populasi fitoplankton tertentu tumbuh dengan cepat dan menghasilkan racun yang dapat memicu mati massa kehidupan laut, merusak sistem pernapasan ikan, menyebabkan kelumpuhan saraf, dan menyebabkan hilangnya spesies kunci dalam rantai ekosistem.
Efek langsung mereka termasuk penurunan volume tangkapan, gangguan pada rantai pasokan, dan penutupan daerah penangkapan ikan atau akuakultur.
Habs, khususnya konsumsi makanan laut yang mengandung racun laut seperti saxitoxin, asam okadaat, dan asam domoat, juga menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia karena mereka dapat menyebabkan penyakit serius seperti keracunan kerang lumpuh (psp), keracunan keran (DSP), dan keracunan keran (DSP), dan keracunan amnesik.
Dari perspektif lingkungan, dekomposisi biomassa fitoplankton mengurangi kadar oksigen terlarut di dalam air, menciptakan zona hipoksia atau bahkan anoksik yang mengancam kehidupan air.
Prof. Pello menekankan perlunya manajemen perikanan holistik dan adaptif, termasuk memperkuat penelitian dan kapasitas pemantauan melalui identifikasi spesies fitoplankton yang berbahaya dan pengembangan sistem deteksi dini.
Dia juga menyoroti pentingnya mengembangkan langkah -langkah mitigasi dan adaptasi seperti teknologi biokontrol, sistem filtrasi, adsorben racun (bahan yang mengikat dan menghilangkan racun); pemberdayaan masyarakat melalui diversifikasi pendapatan; dan budidaya spesies yang lebih tangguh terhadap tekanan lingkungan.
Meningkatkan kesadaran di antara komunitas pesisir tentang bahaya habs, pentingnya menjaga sanitasi air, dan menghindari makanan laut yang terkontaminasi sama pentingnya.
Selain itu, kolaborasi lintas-sektoral yang melibatkan akademisi, pemerintah, industri perikanan, dan masyarakat sipil diperlukan untuk menciptakan kebijakan berbasis bukti dan memperkuat jaringan pemantauan regional.
“Mengontrol Habs membutuhkan sinergi dari semua pihak untuk memastikan keberlanjutan perikanan Maluku dan melindungi keamanan pangan laut untuk generasi mendatang,” tegasnya.
Berita terkait: Ekspor ikan hidup dari Maluku meningkat 50,8 persen: BKIPM
Berita terkait: Pemerintah untuk mengujicobakan pertanian rumput laut modern di Sulawesi Tenggara dan Maluku
Berita terkait: Kementerian untuk menunjuk Tomalou sebagai desa nelayan
Penerjemah: Primayanti
Editor: Azis Kurmala
Hak Cipta © Antara 2025