Jakarta (Antara) – Anggota Komisi IX dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Netty Prasetiyani Aher telah mendesak Badan Nutrisi Nasional (BGN) untuk melacak sumber -sumber kasus keracunan makanan yang terkait dengan program Free Nutricious Meals (MBG).
Selama pertemuan dengan BGN di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada hari Selasa, ia menggarisbawahi bahwa sumber keracunan makanan harus dilacak dengan berfokus pada beberapa aspek, mulai dari bahan lokal hingga proses distribusi.
Dia mengutip laporan dari Pusat Inisiatif Pengembangan Strategis Indonesia (CISDI) tentang standardisasi penyediaan makanan gratis, yang menyatakan bahwa hanya 17 persen dari makanan yang memenuhi standar nutrisi dan keamanan pangan.
“CISDI juga menemukan bahwa 45 persen dari menu yang disajikan adalah makanan ultra-olahan, sementara kami benar-benar ingin memberdayakan petani lokal dan memperkenalkan makanan lokal,” katanya.
CISDI juga telah memberikan beberapa catatan tentang kelayakan unit layanan pemenuhan nutrisi jika mereka perlu melayani tiga ribu hingga 3.500 orang.
“Di Brasil, makanan ultra-olahan tidak dapat diberikan kepada anak-anak sekolah. Praktik yang baik ini perlu dicatat oleh BGN untuk meningkatkan kepercayaan publik dalam program makanan gratis,” katanya.
Dia juga meminta agensi untuk mengoptimalkan koordinasi dan keterlibatan kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan respons cepat terhadap kasus keracunan makanan dan mencegah penyebaran lebih lanjut.
Berita terkait: BGN Indonesia menanggapi kasus keracunan dengan protokol yang lebih ketat
Selain itu, Komisi IX menyarankan BGN untuk terus berkoordinasi dengan Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) untuk memastikan bahwa setiap pasangan yang terlibat dalam program MBG mengikuti standar keamanan pangan yang ketat.
Sementara itu, kepala BGN Dadan Hindayana menyoroti bahwa agensinya memperketat prosedur distribusi makanan untuk mencegah kasus keracunan makanan yang berulang.
Dia mengatakan bahwa hal pertama yang akan diperkuat adalah protokol keselamatan selama pengiriman dari dapur ke sekolah.
Yang kedua membatasi waktu pengiriman maksimum untuk mempertahankan kualitas makanan, sementara yang ketiga mengencangkan mekanisme distribusi di sekolah, termasuk penyimpanan dan pengiriman kepada siswa.
Yang keempat menetapkan batas toleransi waktu sehingga makanan segera dikonsumsi. Sementara itu, yang kelima menetapkan kewajiban untuk pengujian makanan organoleptik sebelum didistribusikan.
Berita terkait: Standar pemrosesan makan siang sekolah diperketat untuk mencegah keracunan makanan
Penerjemah: Lintang Buriyanti, Raka Adji
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © Antara 2025